Keutamaan Kecerdasan Spiritual

KECERDASAN SPIRITUAL SEBAGAI KECERDASAN UTAMA
DAN MODAL UTAMA KEHIDUPAN

Simon M. Tampubolon

ABSTRACT
Article discusses spiritual intelligence as the ultimate intelligence and ultimate live capital. This article describes the ultimate points of spiritual intelligence by discusses the definition of spiritual intelligence, how spiritual intelligence works, characteristic of spiritual intelligence and for the practical implication this article discusses how to improve spiritual intelligence.
Keywords: Spritual Intelligence, intelligence

ABSTRAK
Artikel membahas kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan utama yang menjadi modal utama dalam kehidupan. Artikel ini menunjukan keutamaan dari kecerdasan spiritual dengan membahasnya dari sudut definisi kecerdasan spiritual, cara kerja kecerdasan spiritual, karateristik kecerdasan spiritual dan sebagai implikasi praktis dibahas juga bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual tersebut.
Kata Kunci : kecerdasan spiritual, kecerdasan

PENDAHULUAN
Awal abad kedua puluh merupakan juga awal abad “Intelligence Quotient” (IQ). Di mana pada awal abad ini IQ menjadi sebuah isu besar. IQ dipandang sebagai kecerdasan utama yang diperlukan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis, sehingga pada masa ini manusia dipilah-pilih berdasarkan tingkat IQ mereka. Namun, pada akhir abad kedua puluh, data-data ilmiah terbaru menunjukkan adanya “Q” yang ketiga, yang dikenal dengan “Spiritual Intelligence” (Zohar dan Marshall, 2007:3) Sebelumnya muncul Emotional Quotient, sebagai “Q” kedua.
Sejak dikenalkannya “Q” yang ketiga tersebut, maka perhatian mulai diarahkan kepada bagaimana mensosialisasikan, mengembangkan dan menerapkan spiritual intellegence tersebut dalam berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari bidang pendidikan, social, bisnis dan juga kepemimpinan. Dan, sampai pada titik dimana SQ dipandang sebagai kecerdasan yang lebih penting dibanding dua kecerdasan lainnya. Zohar mengatakan: “SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.” (Zohar dan Marshall, 2007:4)
Keutamaan dari kecerdasan spiritual dapat ditelusuri dari berbagai sudut pandang, tetapi di sini penelusuran akan dilakukan dengan melihat definisi kecerdasan spiritual, cara kerja kecerdasan spiritual, dan karakteristik pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik. Dari penelurusan tersebut diharapkan ada suatu pengertian tentang betapa utamanya kecerdasan spiritual sebagai modal untuk menghadapi kehidupan. Kesadaran akan keutamaan kecerdasan spiritual akhirnya akan menantang kesadaran diri untuk membangun dan mengfungsikan kecerdasan spiritual dengan maksimal, untuk itu akan juga dibahas bagaimana meningkatkan kecerdasan spiritual secara praktis.

PEMBAHASAN
Pengertian Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshall yang dikenal sebagai pencetus istilah spiritual intellegence mendefinisikannya sebagai berikut (Zohar dan Marshall, 2007:4):
Kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan dalam memberi atau menangkap makna atas sebuah persoalan dengan wawasan yang luas dan mengejahwantahkan makna tersebut dalam suatu tindakan atau jalan hidup yang bernilai.
Taufik Bahaudin, menyimpulkan definisi Danah Zohar tersebut dengan mengatakan (Bahaudin, 2007:189-190):
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang menyangkut moral (moral intelligence) yang mampu memberikan kita pemahaman yang menyatu dalam diri kita untuk dapat membedakan sesuatu yang benar dengan yang salah atau keliru. Suatu kecerdasan yang mampu membuat kita meningkatkan kebaikan, kebenaran/kejujuran, merasakan keindahan dari hati kita yang dalam dan rasa welas asih terhadap sesama yang merupakan sumber dari simpati dan empati.
Definisi Taufik Bahaudin ini menjelaskan bahwa ejahwantah dari makna sebagai hasil dari kecerdasan spiritual diwujudkan dalam jalan hidup yang beretika dan berestetika. Etika dan estetika yang dihasilkan melekat atau menyatu dengan diri, karena bersumber dari dalam diri, bukan sekedar tekanan dari hukum, norma dan faktor luar lainnya. Hal ini pada akhirnya menghasilkan perubahan dari dalam ke luar. Sebagai sebuah kecerdasan yang menghasilkan etika dan estetika, maka kecerdasan spiritual dapat juga diartikan sebagai factor pelipat atau pengganda dari kecerdasan atau intelegensi.
Bila, melihat kecerdasan spiritual dalam pengertian kemampuan memberi makna, maka hal ini dapat dilihat keutamaannya dari apa yang dikatakan Victor E. Frankl, (Frankl, 2004:160) yaitu:
“Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya, dan bukan “rasionalisasi sekunder” yang muncul karena dorongan-dorongan naluriahnya. Makna hidup ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya, dia hanya bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah dia bisa memiliki arti yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna hidup.”
Karena, mencari makna hidup adalah motivator utama bagi manusia untuk menghadapi kehidupan ini dan kecerdasan spiritual adalah ranah kecerdasan yang melakukan tugas mencari makna tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa kecerdasan spiritual menampakkan posisinya sebagai kecerdasan dan modal utama bagi manusia dalam menghadapi kehidupan baik secara filosofis dan juga praktis. Sementara itu, keunikan dan kekhususan dari makna hidup yang hanya bisa dipenuhi oleh pribadi yang bersangkutan memberi keunikan dan kekhususan juga pada kecerdasan spiritual, dimana kecerdasan spiritual akan memunculkan keunikan dari diri seseorang seiring dengan penemuan akan makna hidup dan peristiwa-peristiwa di dalamnya.
Selanjutnya merujuk pada pengertian dari kecerdasan itu sendiri, maka kecerdasan spiritual akan semakin terlihat posisinya sebagai landasan bagi kecerdasan yang lain. Menurut Witherington, kecerdasan sendiri berarti: “perbuatan yang sangat baik, sehingga ternyata dalam suatu aktivitas yang efisien.” (Witherington,1999:198) J.P Chaplin (Chaplin, 2002;253) menuliskan dalam kamus psikologinya bahwa kecerdasan adalah:
Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, kemampuan menggunakan pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.
Kedua definisi ini menjelaskan inti dari kecerdasan adalah kemampuan melakukan perbuatan benar (efektif) dengan cara yang benar (efesien) dalam menghadapi suatu perubahan. Hal ini senada dengan yang dikatakan Sutratinah Tirtonegoro, bahwa kecerdasan adalah suatu kemampuan mental yang dibawa oleh individu yang dapat dipergunakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan cepat dan tepat.(Tirtonegoro, 2001:20) Sekali lagi penekanan utama dalam definisi ini adalah penyesuaian diri dengan cepat dan tepat.
Membandingkan definisi kecerdasan yang memberikan penekanan pada efektifitas, efesiensi, urgensi serta ketepatan, dengan definisi kecerdasan spiritual yang menekankan makna, nilai, etika moral dan estetika, maka dapat disimpulkan kecerdasan spiritual memberi nilai lebih pada kecerdasan itu sendiri. Kecerdasan spiritual tidak berhenti pada efektif, tetapi juga bermoral; tidak berhenti pada efesien, tetapi juga estetis yang menggerakkan hati; tidak sekedar cepat dan tepat, tetapi juga bernilai dan bermakna.
Kecerdasan spiritual memberi nilai lebih, tidak sekedar pada jawaban atas sebuah masalah atau persoalan, namun juga memberi nilai tambah pada pribadi. Sehingga, Richard A. Bowell mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk mengembangkan tingkatkan diri, untuk mengintegrasikan konflik dan menjadi lebih daripada diri kita.(Bowell, 2004:10) Definisi ini senada dengan penjelasan Michal Levin, bahwa: “Kecerdasan spiritual, dengan pemahaman perseptual yang lebih luas, akan memungkinkan kita melihat dan mengetahui apa yang tidak mampu kita lihat atau ketahui – sampai sekarang.” (Levin, 2005:30)
Nilai tambah yang diberikan melalui kecerdasan spiritual mempertegas posisi spiritual intelligence yang melandasi dinamika kecerdasan lain dan menggerakkan kecerdasan yang lain dalam suatu kesatuan yang mampu melampaui masalah yang terlihat. Bicara “melampui masalah yang terlihat” berarti bicara memberi makna spiritual. Sehingga, kecerdasan spiritual juga adalah kemampuan memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mensinergikan aspek kecerdasan lain IQ dan EQ (Agustian, 2005:47).

Cara Kerja Spiritual Intelligence
Spiritual Intelligence sebagai sebuah kecerdasan tentunya tidak berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan IQ dan EQ. Secara sederhana dapat dikatakan: IQ sebagai kecerdasan memberikan jawaban atas pertanyaan “apa”; EQ sebagai kecerdasan berusaha memahami “bagaimana”, dan SQ sebagai kecerdasan berusaha memahami “mengapa” (Bowell, 2004:15) IQ dikenal bersifat linier atau seri yang logis dan rasional; EQ bersifat asosiatif, artinya menciptakan asosiasi satu hal dengan hal yang lain; dan SQ bersifat unitif (menyatukan) atau holistic, melakukan kontekstualisasi dan transformasi.
Sebelum lebih jauh, ingat kembali kata-kata Nietzsche yang berbunyi: “Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, bisa menghadapi hampir semua bagaimana.” (sebagaimana dikutip dalam Frankl, 2004:166), Karena kecerdasan spiritual menjawab “mengapa”, maka “apa” dan “bagaimana” dalam bentuk apapun di kehidupan ini akan dapat dihadapi. Artinya, kecerdasan spiritual kembali ditunjukkan sebagai kecerdasan dan modal utama kehidupan
Danah Zohar dan Ian Marshall menggambarkan struktur kecerdasan-kecerdasan dalam diri sebagai berikut:

Gambar 1 Model Baru Diri (Zohar dan Marshall, 2007:56)
Lapisan luar, yaitu lapisan rasional yang prosesnya bersifat seri berfungsi untuk berinteraksi secara efesien dengan dunia teks, jadwal, perencanaan linier atau yang berorientasi pada tujuan. Pada lapisan tengah adalah berpikir asosiatif yang prosesnya bersifat pararel. Sedangkan, pada lapisan pusat berpikir integrative dan disini adalah pusat kerja spiritual Intelligence ( Zohar dan Marshall, 2007:56)
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa SQ bekerja pada pusat otak, yaitu dari fungsi-fungsi penyatu otak. SQ menyatukan semua kecerdasan yang dimiliki manusia, sehingga manusia menjadi pribadi yang utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.( Zohar dan Marshall, 2007:5) SQ bekerja sebagai pemersatu atau kontrol atas rasio dan emosi dalam mengambil sebuah keputusan dengan cara memberi makna dan nilai lebih sebelum sebuah keputusan diambil.
Dalam kaitan dengan modal bagi individu, hubungan fungsi kerja IQ, EQ dan SQ dapat didiskripsikan sebagai berikut:
Modal Kecerdasan Fungsi
Modal Material IQ : Kecerdasan rasional Apa yang saya pikirkan
Modal Sosial EQ: Kecerdasan Emosional Apa yang saya rasakan
Modal Spiritual SQ: Kecerdasan Spiritual Siapa saya

Gambar 2 Tabel Modal Individu (Zohar dan Marshall, 2005:43)
Dengan melihat fungsi kerjanya yang mencari jawab atas “siapa saya”, maka kecerdasan spiritual menjadi modal utama, untuk menjawab apa yang “saya” pikirkan dan rasakan. Ketika “Saya” dimaknai dengan benar, maka apa yang dipikirkan dan rasakan akan menjadi sesuatu yang berbeda. Di sini ada suatu prinsip yang perlu diingat, bahwa “Siapa” saya menentukan “apa” yang saya lakukan. Dengan demikian kecerdasan spiritual kembali terlihat menjadi modal utama karena menjadi sebuah paradigma untuk memaknai modal-modal atau kecerdasan-kecerdasan lain.
Lebih jauh lagi dikatakan bahwa kontribusi kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional terhadap karir atau hidup seseorang dikatakan paling tidak 80%, sementara 20% nya lagi merupakan kontribusi dari kecerdasan rasional. Dari 80% kontribusi tersebut ternyata kontribusi SQ paling tidak mendominasi sekitar 60%-nya dan sisanya adalah kontribusi EQ (Bahaudin, 2007:22). Melihat komposisi kontribusi masing-masing kecerdasan terhadap karir atau hidup seseorang tersebut, Nampak jelas keutamaan dari kecerdasan spiritual yang memegang kontrol hampir 60% atas karir dan hidup seseorang.
Penjelasan bagaimana kerja, fungsi dan kontribusi kecerdasan spiritual di atas membawa pada sebuah kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual adalah modal utama bagi individu untuk menjalani hidupnya dengan penuh makna, keindahan, dan rasa dalam segala bidang-bidang kehidupan.

Karakteristik Pribadi yang Memiliki Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual dikatakan menjadikan manusia pribadi yang utuh secara rasio, emosi dan rohani, sehingga menggerakkan hati; tidak sekedar cepat dan tepat, tetapi juga bernilai dan bermakna. Kecerdasan spiritual memberi nilai lebih, tidak sekedar pada jawaban atas sebuah masalah atau persoalan, namun juga memberi nilai tambah pada pribadi. Sehingga, Richard A. Bowell mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk mengembangkan tingkatkan diri, untuk mengintegrasikan konflik dan menjadi lebih daripada diri kita.(Bowell, 2004:10) Danah Zohar, menegaskan bahwa perbedaan penting antara SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya.(Zohar dan Marshall, 2007:5) SQ membentuk manusia menjadi pribadi yang memiliki nilai lebih, unggul dan tidak dikuasai keadaan melainkan mengubah atau mengarahkan keadaan.
Nilai unggul dari manusia yang memiliki kecerdasan spiritual menurut Danah Zohar dan Ian Marshall adalah sebagai berikut (Zohar dan Marshall, 2007:14):
1. Kemampuan bersifat fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran yang tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampui rasa sakit
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan “holistic”)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.
9. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “bidang mandiri” – yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Nilai-nilai unggul tersebut menjadikan manusia sebagai pribadi yang mampu bertanggung jawab dalam suatu wawasan yang luas dan fleksibel serta bermakna.
Richard A. Bowell, memberikan beberapa nilai yang menunjukkan kecerdasan spiritual yang mengubahkan pada diri seseorang, yaitu: kreatif, memiliki rasa belas kasih, menunjukkan kepemimpinan sejati , dan sangat tanggap dalam memberikan solusi baru atas tantangan yang dihadapi. (Bowell, 2004:9)
Sementara itu Marsha Sinetar sebagaimana dikutip Triantoro (Safaria, 2007:26-28) menyatakan karakteristik pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, yaitu:
1. Memiliki kesadaran diri yang mendalam, intuisi yang tajam, kekuatan keakuan (ego-streght), dan memiliki otoritas bawaan.
2. Memiliki pandangan yang luas terhadap dunia dan alam
3. Memiliki moral tinggi, pendapat yang kokoh, kecenderungan untuk merasa gembira, mengalami pengalaman-pengalaman puncak, atau bakat-bakat estetis.
4. Memiliki pemahaman tentang tujuan hidup.
5. Memiliki “kelaparan” tak terpuaskan akan hal-hal selektif yang diminati.
6. Memiliki gagasan yang segar dan memiliki rasa humor dewasa.
7. Memiliki pandangan pragmatis dan efisien tentang realitas.

Kajian dari karakteristik manusia yang cerdas secara spiritual dapat disimpulkan dalam beberapa karakteristik utama yaitu kesadaran diri, pandangan hidup yang terintegrasi dalam sebuah visi dan sistem nilai, kemampuan menghadapi dan memanfaatkan segala pergumulan dengan solusi yang terbaik, dan hidup dalam kasih. Karateristik unggulan ini sesungguhnya merupakan karakteristik kepemimpinan yang diperlukan di abad ini, abad di mana kepemimpinan menjadi sebuah isu utama. Dalam bukunya “Heroic Leadership,” Chris Lowney, menyatakan bahwa kesadaran diri adalah dasar dari kepemimpinan dan memiliki pengaruh besar terhadap apa yang disebut sukses. Chris (Lowney, 2005: 111-148) lebih jauh menunjukkan fondasi utama dari seorang pemimpin “heroic”, yang bila dilihat fondasi-fondasi itu adalah karakteristik pribadi yang cerdas secara spiritual. Fondasi-fondasi itu adalah:
1. Kesadaran diri: Mengalahkan diri sendiri dan mengatur hidup.
2. Engenuitas: Menjadikan diri lepas dan bebas (engenuitas dapat diartikan kecerdikan dan fleksibilitas)
3. Magis: Magis diartikan “lebih” dalam segala strategi dan kehidupan.
4. Cinta Kasih: Menjadi pribadi yang mampu mencintai.)
Dengan membandingkan fondasi kepemimpinan “heroic” Chris tersebut dengan karateristik manusia yang cerdas secara spiritual, maka jelas bahwa kecerdasan spiritual akan membuat seseorang menjadi pemimpin yang “magis” atau yang memiliki nilai lebih. Karena, karakteristik ini adalah sebuah fondasi atau dasar, maka ia adalah hal utama yang menentukan berdiri tegaknya bangunan di atasnya. Namun, andai pun suatu waktu bangunan di atasnya roboh, bila fondasinya kokoh, maka bangunan itu dapat dibangun kembali di atasnya.
Sekali lagi, karakteristik manusia yang cerdas secara spiritual di atas merupakan karakteristik unggulan. Karakteristik seorang pemimpin, pembaharu, visioner, humanis dan juga teologis; suatu karakter yang membentuk pribadi-pribadi yang dibutuhkan dunia saat ini, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual telah menjadi modal utama untuk menjawab segala kebutuhan berbagai aspek kehidupan di masa kini dan masa mendatang.

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual
Kesadaran akan keutamaan kecerdasan spiritual sebagai modal utama untuk kehidupan menantang pribadi insani untuk mengembangkan kecerdasan tersebut di dalam dirinya. Tentu pengembangan kecerdasan ini merupakan proses panjang yang memerlukan latihan dari dalam yang disiplin. Semakin dini latihan dan pengembangan kecerdasan spiritual ini dikembangkan, maka manfaatnya akan semakin besar. Idealnya pengembangan ini harus dimulai dari usia dini, dimana peran keluarga, orang tua dan orang-orang terdekat sangat diperlukan, namun tidak ada istilah terlambat untuk kecerdasan spiritual.
Sebagaimana kecerdasan lainnya telah melekat pada diri pribadi sejak manusia itu tercipta, demikian juga kecerdasan spiritual sudah ada pada diri persona. Kodrat manusia yang baru lahir adalah untuk bertumbuh dan berkembang, naluri akan mendorongnya untuk melakukan dan mencari segala hal yang diperlukan untuk bertumbuh secara intelektual. emosional dan juga spiritual, seperti sebuah pohon yang akan terus mengarah ke sinar mentari. Namun, sayang kerap kali ada penghambat yang muncul sejak dini dalam kehidupan seseorang, sehingga kecerdasan-kecerdasan yang ada tidak berkembang maksimal.
Sebelum lebih jauh membahas bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat faktor-faktor penghambat yang ada.Adapun faktor penghambat menurut Danah dan Ian adalah: tidak adanya pengembangan bagian-bagian dalam diri seseorang sama sekali, atau bila ada pengembangan, maka pengembangan tersebut tidak seimbang dan tidak proporsional serta dengan cara negative dan destruktif, serta faktor lain adalah terjadinya pertentangan hubungan antara bagian-bagaian dalam diri individu. (Zohar dan Marshall, 2007:144) Yang dimaksud bagian dalam diri pribadi oleh Danah dan Ian adalah bagian diri sebagaimana digambarkan dalam teratai diri yang meliputi: kepribadian diri, motif, dan juga jalan gerakan batin.
Pribadi yang tidak mengembangkan bagian-bagian dirinya secara seimbang dan proporsional, serta dengan cara-cara yang destruktif tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, sebagaimana Triantoro Safaria tuliskan (Safaria, 2007: 48-58), yaitu:
1. Lingkungan keluarga yang tidak mendukung perkembangan kecerdasan spiritual.
2. Lingkungan masyarakat yang memberi pengaruh negatif.
3. Kelompok teman sebaya yang memberi pengaruh desktruktif
4. Media yang tak terawasi memberikan pengaruh negatif
Faktor-faktor penghambat ini harus diminimalisir terlebih dahulu untuk menyediakan wadah yang kondusif bagi perkembangan kecerdasan spiritual, tetapi perlu diingat bahwa sekalipun mungkin faktor-faktor tersebut ada dalam kondisi ekstrim yang tidak mendukung, kecerdasan spiritual berlahan namun pasti masih tetap bisa bertumbuh, karena kecerdasan spiritual sejatinya berasal dari dalam dan keluar, justru di sinilah kecerdasan spiritual memunculkan resiliensi.
Selanjutnya untuk mendapatkan kecerdasan spiritual yang lebih baik Danah dan Ian (Zohar dan Marshall, 2007: 231) mengusulkan tujuh langkah praktis, yaitu:
1. Menyadari di mana saya sekarang
2. Merasakan dengan kuat bahwa saya ingin berubah
3. Merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motiasi saya yang paling dalam
4. Menemukan dan mengatasi rintangan
5. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju
6. Menetapkan hati saya pada sebuah jalan
7. Tetap menyadari bahwa ada banyak jalan)
Menyadari diri dalam langkah ini pada intinya adalah melakukan introspeksi diri secara mendalam dan paripurna dengan merefleksi kembali segala hal yang dialami dalam perkataan, perbuatan, maupun pikiran hari lepas hari, aktivitas lepas aktivitas dan pengalaman lepas pengalaman. Hasil dari refleksi adalah kesadaran diri yang perlu ditindak lanjuti untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Di sini dibutuhkan keinginan yang kuat untuk berubah. Keinginan ini tidak bersifat emosional, tetapi keinginan kuat yang lahir dari suatu pemikiran dan pertimbangan akan resiko yang harus ditempuh sebagai akibat dari perubahan.
Perubahan yang terjadi harus terus diuji lewat suatu perenungan akan apa yang menjadi pusat diri, motivasi dan tujuan hidup. Ketika perenungan sudah mencapai pusat diri, motivasi dan tujuan hidup, maka segala penghalang untuk menghasilkan perubahan akan dikenali dengan baik dan siap untuk disingkirkan. Penyingkiran halangan dan rintangan yang ada ini memerlukan pemikiran tentang hal-hal apa yang perlu untuk lebih didisplin, komitmen apa yang perlu diambil atau dipertegas dan langkah praktis apa yang perlu ditempuh.
Ketika, disiplin, komitmen, dan langkah praktis yang komprehensif telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan hati untuk melangkah di jalan tersebut. Penempuhan jalan tersebut harus dipandang sebagai sebuah ibadah yang membawa kepada pusat diri dan motivasi yang murni. Dan akhirnya harus ada kesadaran dan pengakuan bahwa masih ada jalan alternatif yang mungkin sedang ditempuh orang lain. Dibutuhkan sikap menghormati jalan-jalan lain di sini dan juga menghormati jalan sendiri, di masa mendatang mungkin terjadi pergantian jalan.

PENUTUP
Benarlah kalau dikatakan bahwa “manusia adalah mahluk rohani yang sementara hidup di dunia,” sehingga modal-modal utama yang dibawa dan digunakan untuk hidup dan menghidupi kehidupan di dunia ini seharusnya modal-modal spiritual. Modal-modal spiritual yang sempat terlupakan dalam beberapa abad kehidupan manusia, di abad ini kembali menjadi sesuatu yang dianggap penting dan mutlak bagi perbaikan peradaban dengan apa yang disebut Spiritual Quotient. Kecerdasan spiritual menjadi modal utama dalam kehidupan setidaknya karena, memberi makna lebih atas semua perkara yang terjadi dalam kehidupan manusia dan juga memberi makna lebih pada pribadi manusia; Dalam kerjanya kecerdasan spiritual memaksimalkan kinerja kecerdasan rasio (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ); dan kecerdasan spiritual menjadi kecerdasan yang dapat menjawab pertanyaan tentang hakekat manusia; Dan, akhirnya kecerdasan spiritual memunculkan karakteristik manusia yang dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan manusia di masa kini dan masa mendatang.
Tantangannya bagi dunia pendidikan formal, maupun nonformal, mulai dari unit terkecil sampai yang terkompleks, dan mulai dari jejang terendah sampai jenjang tertinggi adalah bagaimana menjadikan kecerdasan spiritual sebagai ranah kecerdasan yang utama untuk menghasil pribadi-pribadi yang cerdas secara spiritual ditengah berbagai godaan dunia. Tentunya tantangan ini hanya dapat dijawab dan diselesaikan oleh pribadi-pribadi pendidik yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. ESQ: Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga
Bowell, Richard A. 2004. The 7 Steps of Spiritual Quotient. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
Chaplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Frankl, Viktor E. 2004. Man’s Search For Meaning: Mencari Makna Hidup. Bandung: Nuansa
Levin, Michal. 2005. Spiritual Intelligence. Jakarta: Gramedia.
Lowney, Chris. 2005. Heroic Leadership. Jakarta: Gramedia.
Safaria, Triantoro.2007. Spiritual Intellegence: Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sukidi, 2004. Kecerdasan Spiritual: Mengapa SQ lebih penting daripada IQ dan EQ. Jakarta: Gramedia.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2007. Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2005. Spiritual Capital. Bandung: Mizan.

Tinggalkan komentar